Rabu, 26 Oktober 2011

Kapan anak siap belajar baca-tulis bag. 2

Selanjutnya mengenai kesiapan anak membaca, mengeja, menulis


Bagian II – Membaca, Mengeja, dan Menulis

Belakangan ini, kurikulum dalam Kelompok Bermain (playgroup) dan Taman Kanak-kanak tampak semakin mendesak agar anak balita belajar baca-tulis-eja. Tetapi betulkah waktunya sudah tepat? Sudah siapkah mereka? Mari kita kaji dari aspek perkembangan otak anak.
Jika anak belajar membaca pada usia 4-7 tahun, maka bagian otak yang akan dipakai adalah belahan otak kanan. Belahan ini membuat anak mengenali apa pun sebagai gambar, termasuk huruf dan angka. Saat diperkenalkan pada sebuah kata, anak akan mengingat huruf pertama dan huruf terakhir, serta panjang dan bentuknya secara umum – dan tergambarlah kata itu di benaknya.
Kelemahannya, kalau cara membaca dengan otak kanan itu terpatri di pola pikir anak, di kemudian hari ia akan mengalami berbagai problem belajar. Sebab, anak jadi terbiasa melihat kata sebagai gambar. Ia melihat huruf pertama, huruf terakhir, panjang dan bentuknya lantas menebak “kata apa itu?”. Kata BURUK bisa dibaca BUSUK atau BULUK. Jika Anda pampangkan kata ARJOLI ia akan membacanya sebagai ARLOJI tanpa sadar bahwa ia telah salah mengeja. Kata-kata seperti SIAP dan SUAP atau SURAT, SARAT, dan SIRAT akan terlihat sama saja.
Membaca via otak kanan oke-oke saja untuk kata-kata pendek, tapi akan sangat melelahkan untuk kata yang panjang, apalagi kalimat. Anak-anak yang membaca dengan belahan otak kanan pasti bakal kewalahan setelah membaca beberapa alinea. Lagipula, karena sibuk membunyikan kata, mereka tak bisa menangkap makna utuh dari suatu bacaan. Tidak ada imaji mental yang timbul sementara mereka membaca buku cerita. Ini akan membatasi pemahaman menyeluruh mereka. Akibatnya, saat harus meringkas atau melaporkan isi bacaan, mereka cenderung mencontek atau menyalin teks apa adanya.
Karena pusat membaca di otak kanan melihat huruf dan angka sebagai gambar, cara belajar membaca terbaik untuk usia 4-7 tahun adalah menghubungkan huruf atau angka dengan gambar-gambar. Misalnya, huruf “M” bisa diwakilkan oleh gambar dua puncak gunung dengan lembah di tengahnya. Contoh lain termasuk menggambar  seekor katak untuk huruf “K”, seekor badak untuk huruf “B” atau wafer untuk huruf “W”.
Kita juga belajar mengenalkan bunyi huruf dengan mengaitkannya ke benda nyata, misalnya bahwa bunyi “M” adalah bunyi pertama dari kata “Mama”. Tapi cara ini tidak bisa dipakai untuk membuat anak hafal bentuk hurufnya. Dari sudut ilmu perkembangan, sangat tidak masuk akal mengharap anak hafal bagaimana menulis huruf B dengan bilang, “Babi, Nak, babi!” karena huruf B sama sekali tidak mirip dengan babi, atau huruf A dengan apel, dsb.
Tetapi untuk belajar membaca secara formal, masih perlu dipenuhi dua faktor lain. Pertama, berkembangnya pusat baca di belahan otak kiri. Ini rata-rata terjadi usia 7-9 tahun (pada anak perempuan bisa lebih cepat, sementara pada anak lelaki bisa lebih lambat, sekitar umur 10-12 tahun). Pusat membaca di otak kiri inilah yang menyanggupkan anak-anak untuk belajar membaca secara fonetis (dari huruf ke huruf). Sekarang mereka dapat mengingat lebih akurat bagaimana mengeja kata-kata.
Belahan otak kanan menyanggupkan anak membaca lewat ingatan visual, sementara belahan otak kiri dengan metode fonik (membunyikan kata dari huruf ke huruf). Membaca dengan ingatan visual sangat efisien untuk kata-kata pendek, sementara metode fonik efisien untuk kata-kata panjang. Jika kedua belahan otak itu telah berkembang dan saling terhubung, anak bisa mengakses keduanya secara bersamaan. Akibatnya, anak akan mampu membaca kata pendek maupun panjang dengan efisien.
Bagaimana kita tahu belahan otak kanan dan kiri telah saling terhubung (integrasi bilateral)? Cobalah tes kemampuan mereka melakukan cross-lateral skip: apakah mereka bisa mengayunkan kaki kiri dengan tangan kanan atau kaki kanan dengan tangan kiri berbarengan tanpa berpikir atau berkonsentrasi. Sebab gerakan-gerakan tubuh bagian kanan terhubung dengan belahan otak kiri, sementara gerakan-gerakan tubuh bagian kiri terhubung dengan belahan otak kanan. Kalau anak dapat menggerakan tangan dan kaki yang berseberangan bersama-sama, berarti belahan otak kanan dan kiri sedang “ngobrol” atau terhubung satu sama lain. Kalau anak hanya bisa mengayunkan tangan dan kaki yang sama (homolateral skip), berarti mereka belum siap membaca, karena mereka belum bisa mengakses kedua belah otak secara simultan.
Kemampuan mengakses secara simultan pusat baca di belahan otak kiri dan kanan memudahkan proses membaca anak. Sembari membaca, ia juga bisa menciptakan imaji visual dalam benaknya tentang isi bacaan sebab ia tidak terpaku pada kegiatan mengeja. Alhasil, saat diajak berdiskusi atau disuruh menceritakan kembali, mereka mampu menguatakannya dengan kata-kata mereka sendiri. Mengapa? Karena imaji itu hidup dalam otak mereka.  Mereka jadi lebih mudah memahami makna di balik cerita dan buku yang mereka baca. Belajar mengeja pun akan jadi lebih mudah.
Saya kuatir melihat makin banyaknya siswa kelas 4, 5, 6 SD bahkan SMP di sekolah negeri maupun swasta yang masih kesulitan mengeja atau masih membaca secara visual. Pernah saya memberi tes. Saya minta sejumlah anak membaca kalimat ini: Enam boach pergi brllibur berasma naik preahu mnemacing ikon. Ternyata banyak yang tidak sadar bahwa kalimat itu mengandung salah eja. Saat saya suruh mereka membaca kertas lain berisi kalimat yang sama namun dieja dengan benar, mereka bilang kalimat kedua ini sama saja dengan yang pertama. Paling banter mereka hanya menyadari 1-2 kata saja yang berbeda ejaan.
Anak-anak ini telah didesak untuk membaca terlalu cepat, saat hanya otak kanan mereka yang sudah siap. Mereka menutupinya dengan belajar membaca segala sesuatu hanya dengan ingatan visual. Saat pusat baca di belahan otak kiri mereka akhirnya siap, mereka masih terbiasa membaca dengan otak kanan.  Baru ketika kata yang mereka baca terlalu sulit, mereka memakai pusat baca otak kiri. Tetapi mereka belum bisa memakai pusat baca di otak kiri dan otak kanan bersama-sama.
Banyak dari anak-anak ini masih belum memiliki integrasi bilateral dalam gerakan fisik mereka seperti juga dalam keterampilan baca mereka. Sebagian anak membaca dengan lambat dan susah payah. Sebagian anak lain punya ingatan visual begitu kuat sehingga mereka bisa membaca cepat tetapi tingkat pehamaman dan ejaan mereka payah. Kedua kelompok ini sama-sama tidak bisa membayangkan dengan mudah adegan-adegan dari teks yang mereka baca atau mengingat bagaimana cara mengeja tiap kata satu per satu.
Anak-anak tingkat akhir sekolah dasar yang masih kesulitan membaca perlu diberikan terapi sesuai kasusnya. Ada banyak opsi terapi yang bisa dipilih. Oh ya, mereka juga perlu sering dilatih melakukan gerakan silang untuk menguatkan integrasi otak kiri dan otak kanan, misalnya lewat permainan tenis, berenang dengan berbagai gaya, atau mendaki gunung. Sebagai catatan, semua terapi ini jangan dijalankan dalam suasana persaingan, sebab stres mengganggu pembentukan jalur syaraf. Setelah itu, mereka harus dilatih ulang membaca fonik dengan otak kiri.
Sekolah dan orangtua berperan besar dalam mendukung proses belajar anak lewat penyediaan makanan yang bergizi, buah dan sayuran segar, dengan menghindari minyak yang setengah terhidrogenisasi dan lemak trans. Tidur yang cukup – yang berarti bertambahnya persentase rapid eye movement (REM) – akan membantu anak mencerna pelajaran yang ia terima di hari sebelumnya. Yang tak kalah pentingnya adalah cinta kasih tanpa syarat. Anak yang merasakan cinta kasih ini akan bertumbuh kembang lebih optimal, termasuk kemampuan akademisnya.
Pembatasan ketat terhadap kegiatan menonton (televisi, video, games komputer), bahkan meniadakannya sama sekali di hari-hari sekolah, akan membebaskan pikiran anak untuk berpikir. Jika tidak, tontonan elektronik itu akan membombardir otak anak dengan rentetan gambar yang menginterupsi proses berpikir. Irama yang teratur dan rutin dalam pola makan dan tidur serta kegiatan sehari-hari akan mendukung sistem syaraf yang rileks dan anak pun lebih siap belajar.
Sekali lagi, anak tidak dapat belajar dengan baik, jaringan syaraf pun tak berkembang sempurna, jika anak stres. Memaksa mereka menulis, membaca, dan mengeja, atau memberi mereka tes-tes “standar” terlalu dini (tidak sesuai dengan tahap perkembangannya) akan menciptakan perilaku bermasalah dan problem-problem belajar, terutama pada anak laki-laki. Mereka bisa benci sekolah, juga benci belajar.
Tahun pertama sekolah dasar adalah waktu untuk memperkenalkan berbagai gambar bentuk. Anak-anak belajar dan membuat huruf-huruf yang dijadikan gambar. Mereka berlatih tulis bersambung (kursif), setiap huruf ditulis berulang kali (misalnya, bentuk kursif “c” disambung seperti ombak lautan).
Satu atau dua tahun kemudian, saat anak sudah mahir berdiri di satu kaki dengan mata tertutup, menebak huruf atau angka yang ditulis di punggungnya, lompat tali maju mundur, dan melakukan gerakan silang – artinya, otak kanan dan otak kiri telah sama-sama berkembang dan saling terhubung – pelajaran formal untuk membaca, mengeja, dan menulis sudah bisa dimulai.
Sudah waktunya untuk menyingkirkan meja-meja dari kelompok bermain dan taman kanak-kanak. KB/TK perlu mengisi kurikulumnya dengan permainan yang melatih integrasi syaraf, keterampilan motorik halus, kemampuan motorik visual, keseimbangan, kekuatan otot, proprioseptif, selain perkembangan sosial dan emosional anak. Kegiatan seperti drama, memanjat, berlari, melompat, engklek (loncat dengan satu kaki), lompat tali, jalan keseimbangan, menyanyi, kejar-tangkap, melukis, mewarnai, bermain tepuk tangan irama, merangkai manik-manik, merajut, serta keterampilan hidup sehari-hari akan menyiapkan pikiran mereka untuk belajar. Anak-anak butuh semua gerakan yang sehat, harmonis, ritmis, dan tak kompetitif ini untuk mengembangkan otak mereka. Sebab gerakan tubuh itulah, bersama-sama dengan kecintaan mereka pada proses belajar, yang menciptakan jalur-jalur syaraf di otak mereka, agar mereka bisa membaca, menulis, mengeja, berhitung matematis, dan berpikir kreatif. (habis)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar