Kamis, 22 September 2022

Berlian yang Tersembunyi

 

Oleh : Hastie

Disini, di sudut kafe tempat anak-anak muda berkumpul aku duduk sendiri. Terkadang memang aku senang berada disini, menikmati iced coffe sambil memperhatikan sekitar. Kali ini aku melihat beberapa grup anak sekolah, sepertinya mereka baru pulang sekolah.

Mereka bercanda, tertawa, saling menggoda satu sama lain. Bibirku sedikit tersenyum, membayangkan cerita di masa itu, waktu masih berseragam putih abu. Orang-orang bilang masa SMA adalah saat terbaik dalam hidup, jadi nikmatilah!

Entahlah, kurasa benar tapi juga tidak. Apa yang dianggap biasa ternyata adalah hal yang sebaiknya tidak dilakukan. Sepertinya biasa saja pergaulan antara laki-laki dan perempuan, sepertinya tidak apa-apa jika anak muda saling berboncengan dengan motor.

Aku juga melakukan itu, dulu saat belum mengetahui apa yang boleh dan tidak. Kini aku menyesali mengapa tidak dari dulu tahu batasan dalam bergaul. Semoga masih bisa kuperbaiki segala kesalahan itu.

Kembali melihat meja lain yang diisi dua anak muda yang sepertinya sedang berkencan. Duh, aku kembali teringat kelakuanku jaman seumur mereka. Ya, rasanya bahagia saat itu bisa pergi berdua dengan “si dia”. Hasrat hati ingin selalu bersama, melakukan kegiatan berdua, jalan berdua, makan berdua. Lupa bahwa Allah memerintahkan untuk menjaga pandangan.

Sudut mataku menangkap kegiatan lain. Sekelompok gadis berhijab sedang berjalan, entah akan kemana. Memang tempat dudukku dekat dengan jendela, tempat favoritku di kafe ini. Dari sini aku dapat melihat dalam sekeliling kafe sekaligus dapat melihat keluar.

“Maaf, Mas. Ini ada titipan,” ucapan pelayan membuatku berpaling.

“Titipan apa, dari siapa?” tanyaku sedikit bingung.

“Itu, dari meja sebelah sana,” jawab pelayan sambal menunjuk pada meja dengan grup gadis remaja berbaju putih abu.

“Oh, iya. Terima kasih,” aku mengambil kertas kecil yang disodorkan pelayan.

Perlahan aku membuka lipatannya, hanya ada sebaris kata disana, boleh kenalan?

Spontan aku melihat kembali ke arah mereka, dan dari mereka hanya satu orang yang menatapku dengan pandangan mengharap jawaban. Kalau mau mengikuti hawa nafsu diri, tentu akan kujawab, boleh. Untungnya masih ada rasa malu yang memenangkan pergolakan batin.

Kulipat kembali kertas itu, lalu aku berdiri bersiap meninggalkan kafe. Kertas kuletakkan kembali di meja. Tanpa menoleh pada meja gadis itu, aku melangkah keluar. Biarlah mereka menganggap aku pria seperti apa, hanya aku merasa mereka masih terlalu muda untuk memulai hal seperti ini.

Di perjalanan menuju tempat parkir, kembali aku teringat sekelompok gadis dengan hijab yang tampak anggun dengan kesederhanaan mereka. Terbesit dalam pikiranku, adakah mereka memiliki hasrat yang sama dengan gadis seusia mereka?

Mungkin saja, tapi mereka dapat menjaga gejolak itu sehingga tidak terlihat oleh orang lain. Bukankah Allah menitipkan rasa suka dan cinta pada sesama, jadi ada kemungkinan mereka mengidolakan seseorang hanya berbeda cara menunjukkannya.

Batasan dalam bergaul pasti sudah mereka ketahui, membuat mereka menjadi berlian yang tersembunyi, itu menurutku. Ingin kudapatkan salah satu berlian tersebut. Semoga aku segera menemukannya.

Tiba-tiba terdengar suara perempuan memanggil, "Mas, tunggu sebentar!"

Bandung, 24 Agustus 2022

Kamis, 01 September 2022

Adakah itu Kita?


9 bulan penuh cinta telah kurasakan, senang, sedih, sakit, bahkan bahagia yang tidak terkira menjadi satu kesatuan cerita yang sempurna. Sejak kehadiranmu seluruh pola kehidupanku berubah, bukan sekali aku merasa aneh dengan diriku sendiri. Beberapa hal yang sebelumnya kusukai menjadi hal yang paling kuhindari.

Seperti yang terjadi beberapa bulan lalu, aku yang tidak biasa bermanja-manja tiba-tiba ingin diperhatikan. Hanya karena seperti tidak ada yang mengerti perasaanku, terjadilah drama. Awalnya aku marah-marah tanpa alasan, kemudian ditutup dengan menangis. Setelahnya aku pun bingung dengan diriku sendiri.

Belum lagi pilihan makanan yang jadi berubah, meski tidak terlalu berbeda. Aku lebih memilih makan buah-buahan yang segar, seperti semangka, mentimun. Buah itu harus selalu ada setiap hari. Nafsu makan juga meningkat, rasanya setiap makanan itu … enak!

Berat badan yang meningkat tidak membuatku khawatir, justru membuat senang. Model pakaian berubah, biasanya aku senang memakai celana sekarang lebih memilih rok, rasanya lebih leluasa. Lebih memilih diam di tempat tidur daripada pergi keluar.

Yang lebih membahagiakan adalah, semua orang tampak lebih bahagia ketika melihatku. Mereka juga tidak segan membantu segala keperluan dan keinginanku. Mereka kerap melarangku melakukan kegiatan yang terlalu menguras tenaga.

Semua itu karena kamu, iya … kamu janin dalam perutku yang membuat segalanya berubah menjadi indah. Sejak kehadiranmu dalam diriku, membuat lingkungan dan orang terdekat menjadi lebih perhatian. Aku dan mereka bahagia dan sangat menanti bertemu denganmu. Kamu yang tidak banyak menyusahkan, kamu yang tiba-tiba hadir dalam keheningan.

Segala tentangmu adalah gambaran terbaik dalam episode hidupku. Membeli keperluanmu menjadi hiburan untukku. Melihat baju dengan ukuran mini dan warna-warni membuat asa di hati membuncah. Sulit diungkapkan hanya dapat dirasakan.

Tiba saatnya hari pertemuan kau dan aku. Sore hari saat sang surya mulai menata peraduannya, perutku terasa berbeda, belum pernah kurasakan. Bersamaan dengan bergantinya hari pada malam, kau hadir di dunia ini. Seperti saat hadirmu dalam perutku dengan keheningan, hadirmu di alam ini pun dengan hening. Tiada suara tangisan dan gerakan.

Fisikmu sempurna, Maha besar Allah yang menciptakanmu. Molek parasmu membuat orang yang melihatmu langsung jatuh cinta, hidung mungil, rambut lebat hitam, dagumu yang sedikit lancip menambah manis.

Ternyata tidak ada cerita di dunia yang fana ini untuk kita. 9 bulan kebersamaan cukup untukku merasa berarti, sempurna, bahagia. Tidak mengapa restu Allah untuk kita di dunia hanya sampai sini. Semoga kelak Allah memberi restu pada kita untuk bertemu dalam keadaan baik di surgaNya.

Meski perjuangan untuk bersamamu sudah kulakukan sekuat dan semampu tenaga, tapi untuk melawan restu pemilik diri, tidak dapat kupaksa. Kurelakan kau kembali pada penciptamu, Allah. Kuyakin pasti yang terbaik. Aku mengakui ada sedikit rasa sakit, kehilangan, dan sedih yang berkecamuk namun aku yakin ini adalah yang terbaik.

Bandung, 22 Agustus 2022

                            gambar : Pixabay

Sabtu, 27 Agustus 2022

Aku, Kamu, dan Cerita Kita

 Oleh : Hastie

Terdengar panggilan dari pengeras suara agar peserta lomba segera berkumpul. Hari ini diadakan perlombaan dalam rangka memperingati hari kemerdekaan Indonesia yang ke-77 tahun. Berbagai lomba digelar, banyak warga yang datang. Tempat pelaksanaan di lapangan agar lebih leluasa dan tidak terlalu mengganggu.

Dengan berlari, Naima dan Lia bergegas menuju lapangan. Mereka tidak mau terlambat mengikuti lomba. Mereka berdua adalah sahabat, selain karena rumah yang berdekatan sekolah pun sama. Mereka selalu terlihat bersama. Karena sekolah mereka dekat dengan rumah jadi tidak perlu diantar orang tua, mereka kadang berjalan menuju sekolah kadang naik sepeda. Jadi, bisa dikatakan dimana ada Naima disana ada Lia.

Tak berapa lama, mereka tiba di lapangan. Ternyata sudah banyak anak-anak lain yang datang, mereka langsung saling menyapa.

“Hai, Gina. Kamu mau ikutan lomba apa aja?” tanya Naima ketika melihat Gina.

“Ikut semua lomba, biar seru,” jawab Gina dengan semangat.

“Aku juga, ikut semua, deh. Iya, kan, Li?” sahut Naima sambil melihat Lia.

“Iya, dong,” sambut Lia sambil mengepalkan tangannya tanda setuju.

Selanjutnya, bersama-sama mereka menuju meja pendaftaran. Terlihat wajah yang sumringah, semangat dari wajah mereka bertiga. Bukan hanya mereka bertiga yang terlihat antusias, semua anak, remaja, dan dewasa terlihat menikmati suasana hari ini. Belum lagi makanan dan minuman yang tersaji, sangat banyak dan beragam, dan semua gratis. Boleh ambil sebebasnya. Menyenangkan sekali!

Masih ada waktu sebelum perlombaan pertama dimulai. Naima dan Lia mempergunakan kesempatan ini untuk mengambil cemilan, hanya kali ini mereka berbeda keinginan. Naima ingin mengambil minuman tapi Lia ingin mengambil es lilin. Beberapa saat mereka saling berdebat mau mengambil apa.

“Kita ambil es, yuk!” ajak Lia.

“Engga, ah. Kita ambil minuman itu aja sepertinya lebih enak,” jawab Naima sambal berjalan mendahului Lia untuk menuju stand minuman.

“Kamu suka gitu, suka maunya sendiri aja. Aku tetep mau ambil es,” Lia menjawab dengan kesal dan pergi meninggalkan Naima.

Beberapa saat mereka saling diam dan tidak menyapa, padahal sebentar lagi perlombaan dimulai. Meskipun bersahabat tapi tetap saja ada saat dimana mereka tidak sepakat. Pertengkaran kecil kadang terjadi.

Akhirnya lomba dimulai, panitia mulai mengumumkan nama-nama anak yang akan mengikuti perlombaan. Untuk lomba pertama Naima dan Lia tidak bersama, biasanya mereka akan saling memberi semangat tapi karena sekarang sedang bertengkar tidak ada teriakan memberi semangat untuk satu sama lain.

Aksi diam-diaman berlangsung sampai seluruh perlombaan selesai. Tiba waktunya pembagian hadiah. Lia berhasil memenangkan satu lomba sedangkan Naima tidak menang dalam satu lomba pun. Naima pulang dengan muka sedih, dan sendiri.

Yang paling membuat Naima sedih bukan karena tidak memenangkan satu lomba pun, tapi karena pertengkarannya dengan Lia. Pertengkaran yang sebenarnya tidak perlu terjadi hanya karena berbeda keinginan seharusnya dapat diatasi. Entah mengapa hari ini menjadi berkepanjangan.

Lia melihat sahabatnya pulang dengan muka sedih jadi merasa bersalah dan ikut sedih. Tidak sampai hati dia melihat Naima pulang sendirian, akhirnya mengejar.

“Naima, tunggu, dong. Jangan cepet-cepet gitu jalannya,” kata Lia sedikit berteriak karena Naima sudah berjalan agak jauh.

Naima pun menengok ke belakang, lalu berhenti berjalan menunggu Lia mendekat.

“Hai, aku pikir kamu masih marah,” kata Naima begitu Lia sudah dekat.

“Tadinya, tapi ngeliat kamu jalan sendirian sambil mukanya ditekuk gitu aku jadi ikutan sedih,” goda Lia sambil senyum.

“Ditekuk, emangnya muka aku apaan,” jawab Naima sambil tersenyum juga.

“Udah, ya, kita jangan bertengkar lagi. Baikan, ya. Lagian ini bingkisan punyamu lupa kamu bawa,” ajak Lia sambil memberikan bingkisan berisi berbagai cemilan dan minuman.

Naima mengangguk senang dan mengambil bingkisan itu. Mereka kembali berbaikan, berjalan kembali bersama. Tersenyum bersama kembali.

Persahabatan adalah hal indah yang dapat dimiliki siapa saja. Carilah sahabat yang dapat membawa pada kebaikan, sahabat yang selalu mengingatkan pada kebaikan. Jika sudah mendapatkannya jangan lepaskan.

“Teman yang paling baik adalah apabila kamu melihat wajahnya, kamu teringat akan Allah, mendengar kata-katanya menambahkan ilmu agama, melihat gerak-geriknya teringat mati. Sebaik-baik sahabat di sisi Allah ialah orang yang terbaik terhadap temannya dan sebaik-baik tetangga di sisi Allah ialah orang yang terbaik terhadap tetangganya.” (HR. Hakim)

Bandung, 21 Agustus 2022




Aku Adalah Aku

oleh : Hastie

Setiap insan dilahirkan dengan keistimewaan berbeda, memiliki fungsi hidup masing-masing. Allah telah menyusun dengan indah dan sempurna. Tidak ada yang dibedakan, adapun kekurangan yang dirasa berbeda mestilah ada kelebihannya.

Idealnya demikian, beruntunglah mereka yang merasakan kebaikan itu. Aku adalah pengecualian sepertinya, ya, karena rasanya belum pernah kurasa menjadi aku sendiri. Sependek ingatanku, aku hanyalah boneka dari obsesi orang tua. Jika orang lain dapat dengan yakin mengatakan warna kesukaan, aku tetap harus mengikuti pendapat Papa dan Mama. Merah, itu warna kesukaanku kata mereka, bahkan pernak-pernik yang kupunya kebanyakan berwarna merah. Tapi, hei … siapa yang memilih semua itu? Ya, mereka.

Kalian tahu ketika aku lelah dan merasa ingin lepas dari segala aktivitas yang rutin, kedua orang yang merasa lebih baik dariku mengatakan bahwa istirahat itu tidak baik.

“Coba lihat anak Papa yang kemarin itu, dia gak pernah ngeluh capek. Padahal kegiatan dia lebih banyak dari kamu. Kamu masih bisa tidur jam 11 malem, dia jam 12. Kamu masih bisa santai kalau makan, dia itu dibatasi waktu makannya,” panjang lebar Papa berkata.

Lain waktu, ketika aku terlambat pulang karena bertemu teman lama di parkiran mobil. Ramah tamah sedikit, aku hanya bertanya kabar dan basa-basi sedikit. Ternyata menyenangkan mengobrol dengan teman itu, ya? Aku bisa tersenyum dan merasa bebas sebentar. Iya, hanya sebentar.

Sampai di rumah, Mama sudah menunggu di teras rumah dengan ekspresi yang membuat bulu kuduk berdiri. Atmosfer langsung berubah, seakan waktu berhenti dan berganti menjadi suasana horor.

“Kenapa terlambat, kamu kemana dulu? Gimana bisa kamu seperti Gani kalau kamu gak disiplin seperti ini?!” ini kalimat pertama yang langsung Mama keluarkan.

“Maaf, Ma,” hanya itu jawaban yang bisa kuucapkan.

“Maaf, maaf, cuma itu yang kamu bisa bilang. Udah, cepet ganti baju terus langsung berangkat les piano. Awas, jangan terlamabat atau males-malesan. Gani baru les sebentar tapi udah lebih jago dari kamu. Kamu ngapain aja kalau lagi les, sih?” lanjut Mama sambil berjalan mengikutiku ke kamar.

Bukan hanya dua orang itu yang sering Mama dan Papa sebut-sebut. Masih banyak nama lain yang katanya adalah anak-anak yang istimewa tidak seperti aku yang prestasinya segitu saja. Ranking 1 di kelas masih belum cukup, menjadi murid terbaik di sekolah itu yang seharusnya. Menjadi pemenang dalam setiap perlombaan yang aku ikuti itu keinginan mereka.

Aku adalah aku, terkadang ingin aku mengatakan itu pada mereka. Tolong berhenti membandingkan aku dengan orang lain. Anak lain mungkin menikmati setiap kegiatan yang mereka pilih sehingga bisa lebih berprestasi karena mereka melakukannya dengan hati, sedangkan aku melakukan karena dipaksa. Lelah rasanya.

Aku merasa sudah melakukan sekuat yang aku mampu, karena rasa sayang dan cinta pada Mama dan Papa. Aku menghormati mereka karena mereka orang tuaku, sebisa mungkin tidak membantah apapun. Kutelan semua kepahitan, hingga aku lupa rasanya bahagia.

Tapi, itu dulu, sudah berlalu sejak aku memutuskan melanjutkan perjalanan hidupku sendiri. Hari perayaan kelulusan SMA adalah titik balik dalam hidupku. Tekadku sudah kuat, aku harus memulai hari baru, kisah baru untukku sendiri tanpa campur tangan satu orang pun.

Hari itu aku berlari tanpa arah, tidak sedikit pun melambat, berlari terus tanpa melihat sekitar. Entah mengapa rasanya lega, embusan angin begitu menyegarkan. Matahari seakan menuntunku menuju kebebasan. Tak terasa aku tersenyum. Berlari hingga lelah, kemudian berhenti. Kututup mataku sesaat, entah kenapa seperti ada hentakan pada tubuhku. Kemudian semua menjadi gelap diiringi suara bising.

Kubuka mataku, tapi tidak mengenali apapun. Bukankah tadi aku masih berlari, masih bisa kurasa detak jantung yang berdebar cepat. Sensasi baru yang kurasa. Kini tidak dapat kurasakan apa-apa, hanya kosong dan kembali kututup mataku.

 

Bandung, 20 agustus 2022

Jumat, 26 Agustus 2022

Jangan Kembali

 Entah mengapa malam ini aku teringat kembali kenangan itu. Saat itu sore hari indah dengan angin hangat berhembus, ya, karena dengan jelas kau mengatakannya, “datang ke rumah malam ini, ya!”

Kehangatan sore berpindah ke relung hati, sesaat dunia seakan terhenti. Lalu, aku tersadar dan merasakan bahagia karena tanpa kau memintanya, aku memang akan datang menemuimu. Kekasih hati yang belum lama aku dapatkan. Setelah dua pekan aku absen tidak menemui, bukan tanpa sebab. Justru karena ada sebab dan itu adalah kejutan untukmu. Tanpa terasa tersungging senyuman di wajahku.

Kau tidak pernah tahu betapa banyak persiapan yang aku lakukan hanya untuk menemuimu, belahan jiwaku. Waktu terasa lambat berjalan, bolak-balik aku melihatnya tapi sepertinya dia menggodaku dengan tidak berputar. Kau tahu, sayang, aku sampai memutar jam itu agar segera menunjukkan waktu dimana aku bertemu denganmu.

Perasaan ragu menghampiri, apakah hadiah ini harus aku bawa sekarang? Aku ingin melihatmu tersenyum setelah menerimanya. Tapi, mungkinkah? Ini tidaklah terlalu istimewa, biasa saja. Padahal kau adalah hal istimewa dalam hidupku. Setelah beberapa kali aku kecewa dan tersakiti ketika menjalani kisah cinta.

Bersamamu berbeda, baru sesaat perjalanan ini tapi rasanya benar. Apa kau ingat saat kita belum lama menjalin kasih, aku sengaja membawamu ke rumah untuk bertemu orang tua. Biasanya setelah lama baru aku berani memperkenalkan, tapi sekali lagi, kamu berbeda. Istimewa. Hanya kau belum siap, tidak mau turun dari mobil, kau marah. Kau menolak bicara, bibirmu maju ke depan, tak mau memandangku, sambil mendekap erat tas kau berkata, “kalau mas maksa aku turun, aku mau lari aja, gak akan mau masuk.”

Bahkan saat merajuk kau terlihat menggemaskan, dengan menahan senyum aku kembali menjalankan mobil menjauhi rumah.

“Setidaknya kamu udah tau rumahku, nanti kalau mau mampir boleh, kok,” kataku menggoda.

“Gak mau, sekarang kita pulang aja. Jadi males mau kemana-mana,” jawabmu sambil melihat keluar jendela belum mau menatapku.

“Beneran pulang, tadinya mas mau ngajak ngebaso, loh.”

“Pulang aja, males,” jawabmu

Suara alarm jam membuatku tersadar kembali, memang segala tentangmu membuatku lupa segalanya. Akhirnya datang juga waktu menemuimu. Tunggu sebentar lagi aku datang untukmu, kita akan berbagi senyuman di ruang tamu.

Aku baru diterima di ruangan paling depan di rumahmu, saat aku akan mengajakmu untuk pergi selalu aku meminta izin Ibumu, beliau menemuiku di ruang itu juga, begitu pula saat aku mengantarmu pulang masih di ruangan itu. Belum saatnya aku masuk lebih jauh, semoga di hatimu aku sudah lebih jauh bersemayam.

Perlahan aku ketuk pintu yang memisahkan kita, berharap di sambut dengan senyuman manis dan tatapan rindu darimu. Senyum lebar sudah kupasang sebelum kau membukakan pintu. Tatapan rindu dan cinta sudah kusiapkan.

Tapi, senyumanku hilang, pandangan bingung yang akhirnya aku perlihatkan. Kau membuka pintu dan langsung menyuruhku masuk dengan ketus, tanpa melihatku. Ada apa aku bertanya sendiri, apa ada yang salah dariku?

Di kursi yang sama aku duduk setiap kali datang menemuimu, sedangkan kau seakan menjauh. Tidak ada minuman yang biasanya sudah tersedia ketika aku datang. Tidak ada pertanyaan basa-basi yang kau tanyakan untuk memulai obrolan. Hanya aura aneh yang kurasakan, dingin, menakutkan.

“Kita sampai sini aja, ya,” kau mengucapkannya dengan lirih tanpa melihatku.

“Maksudnya?” aku masih belum mengerti dengan maksud perkataanmu.

“Kita gak bisa bersama lagi, aku gak akan bisa baik untukmu, kamu terlalu baik untukku,” lanjutmu.

Hingga aku keluar dari pintu itu rasanya tidak percaya, bahkan aku belum sempat mengatakan padamu mengapa aku melewatkan dua pekan tanpa menghubungimu. Kau belum tahu betapa istimewanya dirimu untukku, meski sudah aku katakan bahwa kaulah pelabuhan terakhirku. Sudah aku perlihatkan keseharianku, temanku, tempatku mencari ilmu, tempat istimewa untukku. Aku ingin kau mengenalku lebih dalam sambil aku mencoba mengenalmu lebih baik lagi.

Malam itu, aku berkeliling kota menyusuri jalanan yang pernah kita lalui bersama. Tempat biasa aku menjemputmu, tempat kita mencoba restoran baru, warung baso yang biasa kita datangi. Pertanyaan yang hingga kini belum terjawab, apakah karena aku baik jadi kita tidak bisa bersama? Jika demikian, bilakah aku tidak baik kau akan ada untukku?

Beberapa bulan setelah perpisahan kita, kau masih menghubungiku. Aku masih menemani harimu, biarlah seperti ini dulu pikirku saat itu, asal aku masih bisa melihat senyumanmu. Hingga saat kau memperkenalkan dia yang kau pilih mendampingi suka dan duka harimu. Aku memilih mundur, sakit yang kurasakan tidak dapat teratasi lagi, hancur berkali-kali.

Aku pergi dari kisahmu, melepaskanmu untuk meraih bahagiamu, jujur aku merasa benci sesaat padamu. Aku menghindar menjauh, aku hilangkan seluruh memori tentangmu. Butuh waktu lama, butuh perjuangan melupakan seluruhmu dari diriku.

Belum lama kita merajut kisah, tapi rasa sakitnya melebihi kisah lamaku terdahulu. Selamat tinggal, mungkin untuk selamanya. Aku tidak berharap akan bertemu denganmu lagi, jangan kembali karena aku tidak akan kuat menahan luka.

Bandung, 19 agustus 2022

Bukan Awal Tapi Pasti yang Terakhir

 


Katanya cinta itu dapat membutakan, sering kudengar seperti itu. Cinta itu ibarat candu yang membius tanpa diri mampu menolaknya. Perasaan nyaman, tenang, ringan seakan melayang menembus langit.

Waktu itu belum bisa aku membayangkan, apa itu cinta, bentuknya seperti apa, apalagi rasanya belum dapat teraba olehku. Layaknya bunga yang sedang mekar ataukah seindah pelangi di langit pagi hari, entahlah belum terbayang oleh imajinasiku.

Dada yang bergetar, mata yang tak mampu menatap mereka mengatakannya itu tanda mencintai. Apalagi jika sudah terasa ada kupu-kupu yang terbang di perutmu tandanya cinta telah bersemi. Geli, kupikir.

Dalam bayanganku waktu itu adalah, cinta itu menggelikan, berlebihan. Tak mungkin diri menjadi hilang kesadaran. Benteng pertahanan jiwaku sudah paripurna, tak akan kubiarkan satu orang saja untuk memasukinya apalagi hingga memporakporandakan.

Hati-hati dalam berucap, setitik kata saja dapat mengubah seluruh skenario cerita hidup. Benar ini kurasakan. Ketika aku mengecilkan arti cinta, ternyata hari ini aku terbawa arusnya yang deras. Kurasakan sulit menarik nafas, semakin aku meronta semakin jauh aku terbawa ke dasarnya.

Kabar baiknya adalah gelombang rasa ini bertaut denganmu, memang belum ada untaian kata indah mengalir dari lisanmu. Hanya tatapan mata penuh arti dan lompatan warna-warni asa yang entah bagaimana aku mengerti. Bahasa yang kau sampaikan bukanlah yang biasa kudengar, asing namun membuat nyaman.

Lengkungan indah di wajahmu menggambarkan betapa hangat rasa yang kau miliki untukku. Sajian pujian yang terekam dalam genggaman tanganmu mampu membiusku. Ya, sejak saat itu hatiku berubah, pertahanan diri roboh. Menyerah dengan sukarela kepada utusan hati yang kau kirim.

Hari-hari berikutnya adalah lembaran baru dalam buku hidupku. Lembaran putih berubah menjadi berwarna, tidak semua cerah terkadang kelabu bahkan hitam. Anehnya bab selanjutnya kembali menjadi berwarna kembali, hanya dengan ucapan “jangan pergi dariku.”

Tentang rasa kupu-kupu terbang di perut, akhirnya kurasakan. Ketika kau datang dengan membawa seluruhmu, janji indah kau ucapkan membuat langit bergetar. Dunia seakan menjadi terang benderang, meski banyak keluarga dan kerabat mengelilingi aku merasa hanya berdua denganmu, hanya ada suaramu yang terdengar dan itu indah. Setelah itu, pelangi pagi menghiasi langitku.

Purnama datang dan berlalu, waktu terus melaju membawa kita pada cerita baru penuh drama dan puisi. Untaian memori semakin memenuhi hari-hari, kedatangan dan kepergian saling menyapa. Tumpuan hidup semakin jelas dan mengerucut, semua mengarah padamu.

Sering kau mengatakan tambatkan hati pada pemilik sebenarnya, bukan kau dan aku. Dzat pemilik semesta adalah yang lebih berhak mendapatkan seluruh hati kita. karuniaNya yang membuat cinta ada diantara kita. Tanpa ridho dariNya maka kita takkan dapat melewati ini semua. Kepastian diantara kita adalah perpisahan di dunia, jika bukan ditinggalkan maka akan meninggalkan. Tapi jangan takut katamu, mari merangkai kebaikan di tempat sementara ini agar kelak bersatu di tempat abadi. Disanalah kebahagiaan hakiki kita dapatkan.

Perjalanan ini bukan awal cerita cinta baik untukku atau engkau, namun biarlah ini menjadi akhir cerita yang bahagia. Benih-benih kecil yang melengkapi cerita cinta semoga menjadi tunas yang kuat sehingga mampu menopang segala tantangan di masa depan.

Bersama saling menjaga, biarlah cinta mengalir seperti apa adanya. Ketika cinta sudah memudar biarkan berubah menjadi rasa lain yang lebih indah. Saling menguatkan ketika ada yang jatuh, saling merasa cukup, berikan senyuman terindah meskipun air mata sedang mengalir. Biarkan luka menjadi pengingat bahwa ada yang maha penyembuh. Maka semua akan baik-baik saja.

Mari lanjutkan perjalanan, tambahkan lirik dalam hidup ini. Semoga sang pemilik jiwa meridhoi dan mempersatukan kita kelak di jannahNya.

 

Bandung, 18 Agustus 2022

Kumpulan Fiksi Mini Agustus 2022

Selama 10 hari di bulan Agustus 2022 ini, saya mengikuti challenge menulis fiksi mini berdasarkan lagu. Semua di posting di Facebook. Tapi, saya salin disini. Feel free untuk memberikan saran dan kritik. Terima kasih dan selamat menikmati!


Day 1

                                                Biarlah Semua Berlalu

 

Hai, my lovely diary.

Saat ini suasana hatiku sedang tak menentu, kejadian tadi sore masih belum bisa kulupakan. Rasa sakitnya masih terasa, perih, pedih. Mengapa saat itu Aku gak bisa melawan atau setidaknya mempertahankannya. Duh, penyesalan dan rasa kecewa campur aduk saat ini. Tapi, jujur memang saat itu keberanianku tiba-tiba hilang begitu saja, entah terbang kemana.

Ternyata, begini rasanya tersakiti. Hati bagaikan dikoyak, terpecah dan hancur berkeping-keping. Ry, mungkin Kau anggap ini berlebihan. Biarlah, kuterima semua anggapan darimu. Saat ini hanya Kamu yang Aku punya untuk mendengarkan perasaanku. Untuk berbagi dengan teman yang lain Aku tak sanggup, rasanya lidah kelu tak ada kata yang dapat terucap. Rasa malu lebih besar daripada rasa ingin berbagi. Sulit, ry, sungguh sulit.

Kamu tau, hati adalah tempat terlembut, jika datang asa maka dia akan membagikan rasa bahagia pada mata dan bibir. Iya, ketika bahagia hadir maka mata akan bersinar dan bibir akan tersenyum. Kebalikannya, jika duka yang berlabuh maka air mata akan menetes turun tanpa bisa dihalangi kemudian bibir akan terisak atau bahkan yang lebih parah akan berteriak. Ngeri!

Saat ini hatiku sedang dalam perpaduan marah, kecewa, sedih. Kamu tau gimana sekarang mataku? Merah membara dan bibirku maju ke depan melebihi hidung, silakan bayangkan sendiri betapa hancurnya mukaku saat ini.

Kamu gak mau tahu masalahnya apa, Ry? Mungkin buat sebagian orang persoalan ini kecil, gak perlu buat dibesarkan. Untukku ini masalah yang cukup menguras emosi dan energi. Pandangan satu orang dengan orang lain pasti berbeda. Gak bisa dipaksain, bener gak, sih? Kadang Aku setuju kadang juga engga. Memang kalau semua berpandangan sama dunia gak akan berwarna seperti saat ini. Jadi, biarlah saat ini bebaskanlah mereka dengan pandangannya masing-masing.

Kembali ke masalahku yang sebenarnya masalah bukan, ya? Kok jadi gak yakin juga. Baiklah, begini ceritanya. Sore tadi waktu Aku jalan – jalan di mall, ada toko kerudung yang lagi ngegelar diskon untuk seluruh produk yang ada. Sebagai wanita “modis” alias modal diskon, jiwa belanjaku meronta, dong.

Dari pintu masuk, Aku udah ngeliat jilbab cantik berwarna hijau melambai bagaikan memanggil. Seketika mataku langsung fokus kepadanya, eh, tapi kenapa rasanya ada yang berbeda. Sudut mataku menangkap ada gerakan lain yang sepertinya juga mengarah pada jilbab cantik incaranku.

Kamu tau, Ry?! Jilbab hijau yang cantik itu beneran idaman hatiku. Bahannya lembut, panjangnya ideal tepat menutup dada dan bagian belakangku. Bentuknya gak neko-neko, sederhana tapi elegan tanpa perlu hiasan apapun. Cinta pada pandangan pertama mungkin ini namanya. Aku teringat gamis di rumah kalau dipadukan dengan jilbab ini, mumtaz, sempurna.

Jurus jalan cepat tanpa menoleh kanan – kiri langsung Aku gunakan, karena tau kalau terlambat sedikit maka incaranku akan hilang. Karena ini diskon jadi tidak ada model dan warna yang lain, hanya yang ada di pajangan saja, begitu informasi dari toko. Ry, hatiku berdebar keras sampai Aku takut kedengeran orang lain. Mataku hanya terfokus pada jilbab itu, rasa was-was datang karena tau ada yang mendambanya juga selain diriku.

Hasilnya gimana?

Iya, Aku kalah. Beberapa langkah lagi kebahagiaan akan kumiliki, seketika itu juga hilang tak berbekas. Menyisakan rasa sakit dan kecewa, melihat jilbab cantik itu diambil oleh tangan lain. Langkahku langsung terhenti, pandanganku tiba-tiba kabur, kutarik nafas panjang dan langsung berbalik arah, keluar.

Kini Kamu tau ceritanya, wajar kan kalau Aku sedih? Boleh, dong Aku kecewa?

Jangan ketawa, Ry! Kehilangan sesuatu yang udah jadi incaran dan dambaan hati itu rasanya sakit bukan main, loh. Gini ternyata rasanya ditikung, gak mau lagi ngerasain. Khusus untuk malam ini, biarlah semua berlalu, semoga jilbab hijau cantik itu tidak terbawa dalam mimpiku.

Sekarang Aku mau istirahat dulu, biar besok pagi terbangun dalam keadaan lega karena bisa move on. Makasih, Ry … karena Kamu selalu ada untukku.

Bandung, di kamar sendirian, 16 Agustus 2022


Day 2

                                                        Pilihan Hidup

 

Senja merona menampilkan pesonanya yang dapat menyihir siapa saja yang melihatnya. Hangatnya lembayung yang ada di ufuk barat dengan matahari yang terlihat begitu sendu sekaligus indah, dihiasi burung yang seakan merayu untuk membuatnya tetap bertahan disana. Angin juga seakan menambah suasana semakin syahdu, nyanyian alam sempurna yang Allah buat untuk makhlukNya.

Dua orang gadis duduk di bangku taman sambil menghadap danau yang sepi, mereka terhipnotis dengan riaknya yang lembut dengan sedikit bisikan daun di pepohonan. Perahu yang tertambat di sisi danau membuat pemandangan sore itu sempurna. Entah apa yang sedang berlarian dalam benak mereka, apakah asa atau duka.

Setelah jeda beberapa saat, mereka saling berpandangan dan tersenyum seakan saling mengerti dan menguatkan. Terkadang tidak perlu ada kata, hanya pandangan dan hati yang berbicara maka kepahaman terjadi. Kemudian mereka berdiri dan melangkah pergi menjauh dari danau, sepertinya mereka kembali pada kenyataan.

Ini adalah hari ketiga mereka datang, dan baru sekarang mereka hanya terdiam menatap lembayung yang memayungi awan. Hari pertama, mereka datang dengan berlari dan air mata yang bercucuran.

“Aku pengen pulang, gak kuat banget,” gadis berkerudung hitam panjang itu berkata dengan tangisan yang masih ada.

“Sabar, Fa. Semua pasti berlalu, biarkanlah dia seperti itu nanti juga dia akan merasakan hasilnya sendiri,” kata gadis kedua yang sama juga berkerudung hitam panjang.

Gadis pertama yang dipanggil Fa, hanya bisa terdiam tidak menjawab. Beberapa menit berlalu hanya terdengar sedu sedan tangisannya.

“Menjalani cerita di pondok seperti ini ternyata tidak semudah yang terlihat. Banyak hal yang orang luar sana tidak tahu. Yang paling ringan aja, kita disini tidur cuma berapa jam, coba? terus kalau seperti sekarang, lagi ada masalah dengan teman sendiri harus dihadapi sendiri, diselesaikan sendiri. Belum lagi harus ketemu terus setiap hari padahal hati masih sakit,” Fa kemudian menjawab dengan lirih.

Tak berapa lama, mereka beranjak pergi. Mungkin kembali ke pondok seperti yang mereka sebutkan. Bangku taman yang menghadap danau kembali kosong tapi penuh dengan cerita manusia.

Hari kedua, mereka datang kembali. Tidak dengan berlari juga tidak dengan air mata yang bercucuran. Mereka datang dengan langkah pelan menuju bangku. Kali ini dengan sedikit senyuman dan kehangatan yang bisa terasa oleh sekelilingnya.

“Nah, beres juga masalahnya. Sekarang bisa senyum, deh,” kata gadis itu.

“Iya, Alhamdulillah. Benar, loh. Ketika masalah sudah terlewati maka semua itu bisa kita senyumin. Tapi, masih ada sedikit sakit di sini,” jawab Fa sambil menunjuk dadanya.

Entah apa sebenarnya masalah yang mereka hadapi, pasti terasa berat karena mereka harus menghadapinya sendiri. Mereka harus dewasa dengan tempaan berat, manusia terkadang tidak dapat memahami permasalahan manusia lain jika mereka belum pernah mengalaminya. Bahkan, manusia cenderung merasa lebih tahu dari yang lainnya.

“Eh, kita ini kan manusia kuat dengan jiwa yang kuat, iya, kan?!” lanjut gadis yang tetap masih memakai kerudung hitam panjang dengan senyuman lebar dilanjutkan dengan tertawa.

“Iya, dong. Mereka bisa merebut senyum kita, bisa merobek hati kita tapi gak akan lama karena kita tahu obatnya. Kembalikan semua pada Allah, lakukan dengan sabar dan salat, iya, kan?” Fa menambahkan sambil wajahnya menatap langit.

“Yes!” jawab gadis lain itu, setelah itu mereka berlarian kembali ke tempat mereka menjalani pilihan hidup mereka.

Setelah hari ketiga yang tanpa kata, mereka belum terlihat kembali mendatangi bangku taman yang menghadap danau. Mungkin masalah mereka sudah selesai, mungkin mereka sedang bahagia. Mungkin juga mereka belum ada waktu untuk berkunjung kembali. Karena seperti yang pernah mereka katakan waktu mereka begitu padat. Semoga mereka baik-baik saja, bahagia selalu.

Aku hanya berharap masih bisa melihat senyuman dan aura kekuatan yang mereka pancarkan, karena aku tidak akan selama itu ada disini. Setelah mahkotaku berkembang sempurna maka sedikit demi sedikit aku akan menghilang, atau bahkan sebelum itu jika ada manusia yang memetik saat diriku sedang berkembang indah maka Aku tidak akan melihat mereka kembali. Aku akan merindukan mereka dan senja merona yang penuh pesona.

 

Bandung, 17 Agustus 2022


Kamis, 25 Agustus 2022

Memulai Kembali

Bismillahirrahmannirrahim

Setelah bertahun-tahun menelantarkan blog ini, malam ini kembali mengisi. entahlah, belum tahu harus memulai darimana. Tapi, ijinkan saya menulis setitik dua titik. Biarlah seiring waktu blog ini akan terisi. Rindu menulis, rindu berbagi artikel, rindu berbagi pengalaman, rindu merasakan bahagia dan relaksasi pada saat bersamaan.

Apakah disini akan tertulis informasi atau hanya kumpulan curahan hati seorang Hasti, mari lihat selanjutnya. Tujuan utama adalah ingin mendapatkan keberkahan dan berbagi ilmu yang semoga menjadi amal jariyah.

Jadi, mari kita mulai ....