oleh : Hastie
Setiap insan dilahirkan dengan keistimewaan berbeda, memiliki fungsi hidup masing-masing. Allah telah menyusun dengan indah dan sempurna. Tidak ada yang dibedakan, adapun kekurangan yang dirasa berbeda mestilah ada kelebihannya.
Idealnya demikian,
beruntunglah mereka yang merasakan kebaikan itu. Aku adalah pengecualian
sepertinya, ya, karena rasanya belum pernah kurasa menjadi aku sendiri.
Sependek ingatanku, aku hanyalah boneka dari obsesi orang tua. Jika orang lain
dapat dengan yakin mengatakan warna kesukaan, aku tetap harus mengikuti
pendapat Papa dan Mama. Merah, itu warna kesukaanku kata mereka, bahkan
pernak-pernik yang kupunya kebanyakan berwarna merah. Tapi, hei … siapa yang
memilih semua itu? Ya, mereka.
Kalian tahu ketika aku lelah
dan merasa ingin lepas dari segala aktivitas yang rutin, kedua orang yang
merasa lebih baik dariku mengatakan bahwa istirahat itu tidak baik.
“Coba lihat anak Papa
yang kemarin itu, dia gak pernah ngeluh capek. Padahal kegiatan dia lebih
banyak dari kamu. Kamu masih bisa tidur jam 11 malem, dia jam 12. Kamu masih
bisa santai kalau makan, dia itu dibatasi waktu makannya,” panjang lebar Papa
berkata.
Lain waktu, ketika aku
terlambat pulang karena bertemu teman lama di parkiran mobil. Ramah tamah
sedikit, aku hanya bertanya kabar dan basa-basi sedikit. Ternyata menyenangkan
mengobrol dengan teman itu, ya? Aku bisa tersenyum dan merasa bebas sebentar.
Iya, hanya sebentar.
Sampai di rumah, Mama
sudah menunggu di teras rumah dengan ekspresi yang membuat bulu kuduk berdiri.
Atmosfer langsung berubah, seakan waktu berhenti dan berganti menjadi suasana horor.
“Kenapa terlambat, kamu
kemana dulu? Gimana bisa kamu seperti Gani kalau kamu gak disiplin seperti
ini?!” ini kalimat pertama yang langsung Mama keluarkan.
“Maaf, Ma,” hanya itu
jawaban yang bisa kuucapkan.
“Maaf, maaf, cuma itu
yang kamu bisa bilang. Udah, cepet ganti baju terus langsung berangkat les
piano. Awas, jangan terlamabat atau males-malesan. Gani baru les sebentar tapi
udah lebih jago dari kamu. Kamu ngapain aja kalau lagi les, sih?” lanjut Mama
sambil berjalan mengikutiku ke kamar.
Bukan hanya dua orang itu
yang sering Mama dan Papa sebut-sebut. Masih banyak nama lain yang katanya
adalah anak-anak yang istimewa tidak seperti aku yang prestasinya segitu saja. Ranking
1 di kelas masih belum cukup, menjadi murid terbaik di sekolah itu yang
seharusnya. Menjadi pemenang dalam setiap perlombaan yang aku ikuti itu
keinginan mereka.
Aku adalah aku, terkadang
ingin aku mengatakan itu pada mereka. Tolong berhenti membandingkan aku dengan orang
lain. Anak lain mungkin menikmati setiap kegiatan yang mereka pilih sehingga
bisa lebih berprestasi karena mereka melakukannya dengan hati, sedangkan aku
melakukan karena dipaksa. Lelah rasanya.
Aku merasa sudah melakukan
sekuat yang aku mampu, karena rasa sayang dan cinta pada Mama dan Papa. Aku
menghormati mereka karena mereka orang tuaku, sebisa mungkin tidak membantah
apapun. Kutelan semua kepahitan, hingga aku lupa rasanya bahagia.
Tapi, itu dulu, sudah
berlalu sejak aku memutuskan melanjutkan perjalanan hidupku sendiri. Hari
perayaan kelulusan SMA adalah titik balik dalam hidupku. Tekadku sudah kuat,
aku harus memulai hari baru, kisah baru untukku sendiri tanpa campur tangan
satu orang pun.
Hari itu aku berlari tanpa
arah, tidak sedikit pun melambat, berlari terus tanpa melihat sekitar. Entah
mengapa rasanya lega, embusan angin begitu menyegarkan. Matahari seakan
menuntunku menuju kebebasan. Tak terasa aku tersenyum. Berlari hingga lelah,
kemudian berhenti. Kututup mataku sesaat, entah kenapa seperti ada hentakan
pada tubuhku. Kemudian semua menjadi gelap diiringi suara bising.
Kubuka mataku, tapi tidak
mengenali apapun. Bukankah tadi aku masih berlari, masih bisa kurasa detak
jantung yang berdebar cepat. Sensasi baru yang kurasa. Kini tidak dapat
kurasakan apa-apa, hanya kosong dan kembali kututup mataku.
Bandung, 20 agustus 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar