Sabtu, 27 Agustus 2022

Aku Adalah Aku

oleh : Hastie

Setiap insan dilahirkan dengan keistimewaan berbeda, memiliki fungsi hidup masing-masing. Allah telah menyusun dengan indah dan sempurna. Tidak ada yang dibedakan, adapun kekurangan yang dirasa berbeda mestilah ada kelebihannya.

Idealnya demikian, beruntunglah mereka yang merasakan kebaikan itu. Aku adalah pengecualian sepertinya, ya, karena rasanya belum pernah kurasa menjadi aku sendiri. Sependek ingatanku, aku hanyalah boneka dari obsesi orang tua. Jika orang lain dapat dengan yakin mengatakan warna kesukaan, aku tetap harus mengikuti pendapat Papa dan Mama. Merah, itu warna kesukaanku kata mereka, bahkan pernak-pernik yang kupunya kebanyakan berwarna merah. Tapi, hei … siapa yang memilih semua itu? Ya, mereka.

Kalian tahu ketika aku lelah dan merasa ingin lepas dari segala aktivitas yang rutin, kedua orang yang merasa lebih baik dariku mengatakan bahwa istirahat itu tidak baik.

“Coba lihat anak Papa yang kemarin itu, dia gak pernah ngeluh capek. Padahal kegiatan dia lebih banyak dari kamu. Kamu masih bisa tidur jam 11 malem, dia jam 12. Kamu masih bisa santai kalau makan, dia itu dibatasi waktu makannya,” panjang lebar Papa berkata.

Lain waktu, ketika aku terlambat pulang karena bertemu teman lama di parkiran mobil. Ramah tamah sedikit, aku hanya bertanya kabar dan basa-basi sedikit. Ternyata menyenangkan mengobrol dengan teman itu, ya? Aku bisa tersenyum dan merasa bebas sebentar. Iya, hanya sebentar.

Sampai di rumah, Mama sudah menunggu di teras rumah dengan ekspresi yang membuat bulu kuduk berdiri. Atmosfer langsung berubah, seakan waktu berhenti dan berganti menjadi suasana horor.

“Kenapa terlambat, kamu kemana dulu? Gimana bisa kamu seperti Gani kalau kamu gak disiplin seperti ini?!” ini kalimat pertama yang langsung Mama keluarkan.

“Maaf, Ma,” hanya itu jawaban yang bisa kuucapkan.

“Maaf, maaf, cuma itu yang kamu bisa bilang. Udah, cepet ganti baju terus langsung berangkat les piano. Awas, jangan terlamabat atau males-malesan. Gani baru les sebentar tapi udah lebih jago dari kamu. Kamu ngapain aja kalau lagi les, sih?” lanjut Mama sambil berjalan mengikutiku ke kamar.

Bukan hanya dua orang itu yang sering Mama dan Papa sebut-sebut. Masih banyak nama lain yang katanya adalah anak-anak yang istimewa tidak seperti aku yang prestasinya segitu saja. Ranking 1 di kelas masih belum cukup, menjadi murid terbaik di sekolah itu yang seharusnya. Menjadi pemenang dalam setiap perlombaan yang aku ikuti itu keinginan mereka.

Aku adalah aku, terkadang ingin aku mengatakan itu pada mereka. Tolong berhenti membandingkan aku dengan orang lain. Anak lain mungkin menikmati setiap kegiatan yang mereka pilih sehingga bisa lebih berprestasi karena mereka melakukannya dengan hati, sedangkan aku melakukan karena dipaksa. Lelah rasanya.

Aku merasa sudah melakukan sekuat yang aku mampu, karena rasa sayang dan cinta pada Mama dan Papa. Aku menghormati mereka karena mereka orang tuaku, sebisa mungkin tidak membantah apapun. Kutelan semua kepahitan, hingga aku lupa rasanya bahagia.

Tapi, itu dulu, sudah berlalu sejak aku memutuskan melanjutkan perjalanan hidupku sendiri. Hari perayaan kelulusan SMA adalah titik balik dalam hidupku. Tekadku sudah kuat, aku harus memulai hari baru, kisah baru untukku sendiri tanpa campur tangan satu orang pun.

Hari itu aku berlari tanpa arah, tidak sedikit pun melambat, berlari terus tanpa melihat sekitar. Entah mengapa rasanya lega, embusan angin begitu menyegarkan. Matahari seakan menuntunku menuju kebebasan. Tak terasa aku tersenyum. Berlari hingga lelah, kemudian berhenti. Kututup mataku sesaat, entah kenapa seperti ada hentakan pada tubuhku. Kemudian semua menjadi gelap diiringi suara bising.

Kubuka mataku, tapi tidak mengenali apapun. Bukankah tadi aku masih berlari, masih bisa kurasa detak jantung yang berdebar cepat. Sensasi baru yang kurasa. Kini tidak dapat kurasakan apa-apa, hanya kosong dan kembali kututup mataku.

 

Bandung, 20 agustus 2022

Tidak ada komentar:

Posting Komentar