Jumat, 26 Agustus 2022

Jangan Kembali

 Entah mengapa malam ini aku teringat kembali kenangan itu. Saat itu sore hari indah dengan angin hangat berhembus, ya, karena dengan jelas kau mengatakannya, “datang ke rumah malam ini, ya!”

Kehangatan sore berpindah ke relung hati, sesaat dunia seakan terhenti. Lalu, aku tersadar dan merasakan bahagia karena tanpa kau memintanya, aku memang akan datang menemuimu. Kekasih hati yang belum lama aku dapatkan. Setelah dua pekan aku absen tidak menemui, bukan tanpa sebab. Justru karena ada sebab dan itu adalah kejutan untukmu. Tanpa terasa tersungging senyuman di wajahku.

Kau tidak pernah tahu betapa banyak persiapan yang aku lakukan hanya untuk menemuimu, belahan jiwaku. Waktu terasa lambat berjalan, bolak-balik aku melihatnya tapi sepertinya dia menggodaku dengan tidak berputar. Kau tahu, sayang, aku sampai memutar jam itu agar segera menunjukkan waktu dimana aku bertemu denganmu.

Perasaan ragu menghampiri, apakah hadiah ini harus aku bawa sekarang? Aku ingin melihatmu tersenyum setelah menerimanya. Tapi, mungkinkah? Ini tidaklah terlalu istimewa, biasa saja. Padahal kau adalah hal istimewa dalam hidupku. Setelah beberapa kali aku kecewa dan tersakiti ketika menjalani kisah cinta.

Bersamamu berbeda, baru sesaat perjalanan ini tapi rasanya benar. Apa kau ingat saat kita belum lama menjalin kasih, aku sengaja membawamu ke rumah untuk bertemu orang tua. Biasanya setelah lama baru aku berani memperkenalkan, tapi sekali lagi, kamu berbeda. Istimewa. Hanya kau belum siap, tidak mau turun dari mobil, kau marah. Kau menolak bicara, bibirmu maju ke depan, tak mau memandangku, sambil mendekap erat tas kau berkata, “kalau mas maksa aku turun, aku mau lari aja, gak akan mau masuk.”

Bahkan saat merajuk kau terlihat menggemaskan, dengan menahan senyum aku kembali menjalankan mobil menjauhi rumah.

“Setidaknya kamu udah tau rumahku, nanti kalau mau mampir boleh, kok,” kataku menggoda.

“Gak mau, sekarang kita pulang aja. Jadi males mau kemana-mana,” jawabmu sambil melihat keluar jendela belum mau menatapku.

“Beneran pulang, tadinya mas mau ngajak ngebaso, loh.”

“Pulang aja, males,” jawabmu

Suara alarm jam membuatku tersadar kembali, memang segala tentangmu membuatku lupa segalanya. Akhirnya datang juga waktu menemuimu. Tunggu sebentar lagi aku datang untukmu, kita akan berbagi senyuman di ruang tamu.

Aku baru diterima di ruangan paling depan di rumahmu, saat aku akan mengajakmu untuk pergi selalu aku meminta izin Ibumu, beliau menemuiku di ruang itu juga, begitu pula saat aku mengantarmu pulang masih di ruangan itu. Belum saatnya aku masuk lebih jauh, semoga di hatimu aku sudah lebih jauh bersemayam.

Perlahan aku ketuk pintu yang memisahkan kita, berharap di sambut dengan senyuman manis dan tatapan rindu darimu. Senyum lebar sudah kupasang sebelum kau membukakan pintu. Tatapan rindu dan cinta sudah kusiapkan.

Tapi, senyumanku hilang, pandangan bingung yang akhirnya aku perlihatkan. Kau membuka pintu dan langsung menyuruhku masuk dengan ketus, tanpa melihatku. Ada apa aku bertanya sendiri, apa ada yang salah dariku?

Di kursi yang sama aku duduk setiap kali datang menemuimu, sedangkan kau seakan menjauh. Tidak ada minuman yang biasanya sudah tersedia ketika aku datang. Tidak ada pertanyaan basa-basi yang kau tanyakan untuk memulai obrolan. Hanya aura aneh yang kurasakan, dingin, menakutkan.

“Kita sampai sini aja, ya,” kau mengucapkannya dengan lirih tanpa melihatku.

“Maksudnya?” aku masih belum mengerti dengan maksud perkataanmu.

“Kita gak bisa bersama lagi, aku gak akan bisa baik untukmu, kamu terlalu baik untukku,” lanjutmu.

Hingga aku keluar dari pintu itu rasanya tidak percaya, bahkan aku belum sempat mengatakan padamu mengapa aku melewatkan dua pekan tanpa menghubungimu. Kau belum tahu betapa istimewanya dirimu untukku, meski sudah aku katakan bahwa kaulah pelabuhan terakhirku. Sudah aku perlihatkan keseharianku, temanku, tempatku mencari ilmu, tempat istimewa untukku. Aku ingin kau mengenalku lebih dalam sambil aku mencoba mengenalmu lebih baik lagi.

Malam itu, aku berkeliling kota menyusuri jalanan yang pernah kita lalui bersama. Tempat biasa aku menjemputmu, tempat kita mencoba restoran baru, warung baso yang biasa kita datangi. Pertanyaan yang hingga kini belum terjawab, apakah karena aku baik jadi kita tidak bisa bersama? Jika demikian, bilakah aku tidak baik kau akan ada untukku?

Beberapa bulan setelah perpisahan kita, kau masih menghubungiku. Aku masih menemani harimu, biarlah seperti ini dulu pikirku saat itu, asal aku masih bisa melihat senyumanmu. Hingga saat kau memperkenalkan dia yang kau pilih mendampingi suka dan duka harimu. Aku memilih mundur, sakit yang kurasakan tidak dapat teratasi lagi, hancur berkali-kali.

Aku pergi dari kisahmu, melepaskanmu untuk meraih bahagiamu, jujur aku merasa benci sesaat padamu. Aku menghindar menjauh, aku hilangkan seluruh memori tentangmu. Butuh waktu lama, butuh perjuangan melupakan seluruhmu dari diriku.

Belum lama kita merajut kisah, tapi rasa sakitnya melebihi kisah lamaku terdahulu. Selamat tinggal, mungkin untuk selamanya. Aku tidak berharap akan bertemu denganmu lagi, jangan kembali karena aku tidak akan kuat menahan luka.

Bandung, 19 agustus 2022

Tidak ada komentar:

Posting Komentar