Entah mengapa malam ini aku teringat kembali kenangan itu. Saat itu sore hari indah dengan angin hangat berhembus, ya, karena dengan jelas kau mengatakannya, “datang ke rumah malam ini, ya!”
Kehangatan sore berpindah
ke relung hati, sesaat dunia seakan terhenti. Lalu, aku tersadar dan merasakan
bahagia karena tanpa kau memintanya, aku memang akan datang menemuimu. Kekasih
hati yang belum lama aku dapatkan. Setelah dua pekan aku absen tidak menemui,
bukan tanpa sebab. Justru karena ada sebab dan itu adalah kejutan untukmu.
Tanpa terasa tersungging senyuman di wajahku.
Kau tidak pernah tahu
betapa banyak persiapan yang aku lakukan hanya untuk menemuimu, belahan jiwaku.
Waktu terasa lambat berjalan, bolak-balik aku melihatnya tapi sepertinya dia
menggodaku dengan tidak berputar. Kau tahu, sayang, aku sampai memutar jam itu
agar segera menunjukkan waktu dimana aku bertemu denganmu.
Perasaan ragu
menghampiri, apakah hadiah ini harus aku bawa sekarang? Aku ingin melihatmu
tersenyum setelah menerimanya. Tapi, mungkinkah? Ini tidaklah terlalu istimewa,
biasa saja. Padahal kau adalah hal istimewa dalam hidupku. Setelah beberapa
kali aku kecewa dan tersakiti ketika menjalani kisah cinta.
Bersamamu berbeda, baru
sesaat perjalanan ini tapi rasanya benar. Apa kau ingat saat kita belum lama
menjalin kasih, aku sengaja membawamu ke rumah untuk bertemu orang tua.
Biasanya setelah lama baru aku berani memperkenalkan, tapi sekali lagi, kamu
berbeda. Istimewa. Hanya kau belum siap, tidak mau turun dari mobil, kau marah.
Kau menolak bicara, bibirmu maju ke depan, tak mau memandangku, sambil mendekap
erat tas kau berkata, “kalau mas maksa aku turun, aku mau lari aja, gak akan
mau masuk.”
Bahkan saat merajuk kau
terlihat menggemaskan, dengan menahan senyum aku kembali menjalankan mobil
menjauhi rumah.
“Setidaknya kamu udah tau
rumahku, nanti kalau mau mampir boleh, kok,” kataku menggoda.
“Gak mau, sekarang kita
pulang aja. Jadi males mau kemana-mana,” jawabmu sambil melihat keluar jendela
belum mau menatapku.
“Beneran pulang, tadinya
mas mau ngajak ngebaso, loh.”
“Pulang aja, males,”
jawabmu
Suara alarm jam membuatku
tersadar kembali, memang segala tentangmu membuatku lupa segalanya. Akhirnya
datang juga waktu menemuimu. Tunggu sebentar lagi aku datang untukmu, kita akan
berbagi senyuman di ruang tamu.
Aku baru diterima di
ruangan paling depan di rumahmu, saat aku akan mengajakmu untuk pergi selalu
aku meminta izin Ibumu, beliau menemuiku di ruang itu juga, begitu pula saat
aku mengantarmu pulang masih di ruangan itu. Belum saatnya aku masuk lebih
jauh, semoga di hatimu aku sudah lebih jauh bersemayam.
Perlahan aku ketuk pintu
yang memisahkan kita, berharap di sambut dengan senyuman manis dan tatapan
rindu darimu. Senyum lebar sudah kupasang sebelum kau membukakan pintu. Tatapan
rindu dan cinta sudah kusiapkan.
Tapi, senyumanku hilang,
pandangan bingung yang akhirnya aku perlihatkan. Kau membuka pintu dan langsung
menyuruhku masuk dengan ketus, tanpa melihatku. Ada apa aku bertanya sendiri,
apa ada yang salah dariku?
Di kursi yang sama aku
duduk setiap kali datang menemuimu, sedangkan kau seakan menjauh. Tidak ada
minuman yang biasanya sudah tersedia ketika aku datang. Tidak ada pertanyaan
basa-basi yang kau tanyakan untuk memulai obrolan. Hanya aura aneh yang
kurasakan, dingin, menakutkan.
“Kita sampai sini aja,
ya,” kau mengucapkannya dengan lirih tanpa melihatku.
“Maksudnya?” aku masih
belum mengerti dengan maksud perkataanmu.
“Kita gak bisa bersama
lagi, aku gak akan bisa baik untukmu, kamu terlalu baik untukku,” lanjutmu.
Hingga aku keluar dari
pintu itu rasanya tidak percaya, bahkan aku belum sempat mengatakan padamu
mengapa aku melewatkan dua pekan tanpa menghubungimu. Kau belum tahu betapa
istimewanya dirimu untukku, meski sudah aku katakan bahwa kaulah pelabuhan
terakhirku. Sudah aku perlihatkan keseharianku, temanku, tempatku mencari ilmu,
tempat istimewa untukku. Aku ingin kau mengenalku lebih dalam sambil aku
mencoba mengenalmu lebih baik lagi.
Malam itu, aku
berkeliling kota menyusuri jalanan yang pernah kita lalui bersama. Tempat biasa
aku menjemputmu, tempat kita mencoba restoran baru, warung baso yang biasa kita
datangi. Pertanyaan yang hingga kini belum terjawab, apakah karena aku baik
jadi kita tidak bisa bersama? Jika demikian, bilakah aku tidak baik kau akan
ada untukku?
Beberapa bulan setelah
perpisahan kita, kau masih menghubungiku. Aku masih menemani harimu, biarlah
seperti ini dulu pikirku saat itu, asal aku masih bisa melihat senyumanmu.
Hingga saat kau memperkenalkan dia yang kau pilih mendampingi suka dan duka
harimu. Aku memilih mundur, sakit yang kurasakan tidak dapat teratasi lagi,
hancur berkali-kali.
Aku pergi dari kisahmu,
melepaskanmu untuk meraih bahagiamu, jujur aku merasa benci sesaat padamu. Aku
menghindar menjauh, aku hilangkan seluruh memori tentangmu. Butuh waktu lama,
butuh perjuangan melupakan seluruhmu dari diriku.
Belum lama kita merajut
kisah, tapi rasa sakitnya melebihi kisah lamaku terdahulu. Selamat tinggal,
mungkin untuk selamanya. Aku tidak berharap akan bertemu denganmu lagi, jangan
kembali karena aku tidak akan kuat menahan luka.
Bandung, 19 agustus 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar